Pengawasan dan Keterbukaan Informasi Publik Jadi Sorotan di Tengah Ekspansi Sawit di Sulselbar

  • Bagikan
Diskusi di Qudeta Cafe Makassar, pada Rabu (30/7/2025) siang.

MAKASSAR, RAKYATSULBAR.COM — Perkebunan kelapa sawit di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Barat (Sulbar) atau Sulselbar dalam beberapa tahun terkahir terus melakukan ekspansi dan tren peningkatannya yang cukup signifikan.

Perluasan wilayah perkebunan tumbuhan komersial minyak ini turut dibarengi terkait minimnya keterbukaan informasi, lemahnya pengawasan, dan berbagai dampak lingkungan maupun sosial yang muncul.

Atas dasar itulah, inisiatif pendataan dan pemetaan awal diluncurkan oleh Forest and Society Research Group (FSRG) dengan memaparkan hasil temuan awal dalam diskusi di Qudeta Cafe Makassar, Rabu (30/7/25) siang.

Ekspansi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar, seperti status legalitas dan izin perusahaan-perusahaan sawit di Sulselbar, ekspansi tersebut mengorbankan hutan atau lahan adat, sejauh mana masyarakat lokal dilibatkan dalam proses perizinan dan pengelolaan, dan bagaimana pemerintah daerah menjalankan fungsi pengawasan terhadap ekspansi ini.

Andi Vika Faradiba Muin selaku Peneliti FSRG mengatakan diskusi ini membahas bagaimana ekspansi kelapa sawit di dalam hutan dan bagaimana cipta kerja malah memberi ampunannya melalui jangka benah. Untuk itu, kegiatan ini melibatkan berbagai stakeholder termasuk media.

“FSRG punya beberapa data awal, meskipun itu masih mentah, konferensi pers ini tujuannya untuk mendapat masukan dan input dari media,” ujarnya

Dalam diskusi ini Kepala Bidang Perekonomian dan SDA Bappelitbangda Sulsel, Inyo sebagai narasumber menjelaskan, rencana daerah dalam pengembangan komoditas kelapa Sawit di Sulawesi khususnya Sulawesi Selatan.

“Kalau kita lihat histori lahan di Sulawesi selatan, dari 1930-2024, luar biasa perubahan alih fungsi lahan kita, dan ini menjadi tantangan,” katanya.

“Makanya kita perlu kolaborasi dengan penggerak lingkungan, berbagai macam stakeholder. Ekonomi, lingkungan dan sosial tidak boleh jalan sendiri. Ekonomi tumbuh dengan baik, lingkungan terjaga dan struktur sosial tetap baik,” sambungnya.

Sementara itu, narasumber lainnya, Ali Bahri, Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi berbicara soal penegakan hukum ekspansi sawit di wilayah kawasan hutan.

“Kita sama-sama mengetahui kalau bicara sawit itu tidak ada perseorangan tapi korporasi. Biasanya korporasi itu dalam melaksanakan usahanya pasti dia mengajukan izin. Nah dari situ, kami mengawasi semua perizinan di area hutan, perkebunan, pertambangan. Kami cek tentu berdasarkan data dan fakta lapangan,” jelasnya.

Dia juga menekankan soal data. Jika ada pihak yang melaporkan sawit di wilayah tertentu yang sudah merusak lingkungan bisa dilaporkan dengan menyertakan dara yang objektif, data spasial, lanskap di lapangan.

“Upaya terakhir adalah pengaduan. Jika ada data yang dikirimkan kepada kami, kami melibatkan semua instrumen untuk memastikan di mana itu semua terjadi, ada izin tidak? Dan bagaimana kronologinya,” katanya.

“Singkatnya pengaduan, telah, koordinasi, turun lapangan untuk memastikan semua keterangan, kalau itu cukup bukti, akan kami lanjuttkan untuk proses hukum.

Upaya hukum adalah upaya terakhir, kalau sudah tidak bisa negosiasi, pembinaan, upaya hukum menjadi satu instrumen penyelesaian,” jelas Ali Bahri.

Di sisi lain, Eko Rusdianto, Jurnalis Mongabay menyoroti akses terhadap informasi pada isu ekspansi kelapa sawit.

Menurutnya, akses untuk analisis masalah dampak lingkungan atau Amdal itu tidak pernah terbuka. Sebagai jurnalis, dia mengaku beberapa kali meminta untuk melihat amdal tapi tidak pernah berikan.

“Saya selalu mengajukan tapi perusahaan, semisal PTPN mereka tidak pernah mau memberikan. Makanya memang rumit melihat situasi ini. Fakta di lapangan selalu berbeda, banyak sekali pelanggaran, tetapi pelanggaran itu tak pernah dilihat pemerintah. Contoh perusahaan tidak boleh menanam sawit, dipinggir sungai namun kenyataannya banyak perusahaan yang tidak mengindahkan itu,” jelasnya.

Terakhir, Abd. Rahman Abdullah selaku Peneliti FSRG membahas dampak ekspansi kelapa sawit.

“Kenapa sawit masih terus menjadi andalan bagi pemerintah? Jadi yang pertama, logika negara adalah memposisikan sawit setara dengan pembangunan. Jadi sejak order baru, pemerintah melihat daerah-daerah kecil perlu dimodernkan dan sawit menjadi salah satu opsi,” ucapnya.

Selain melihat perubahan lingkungan, lanskap FSRG juga ingin melihat perubahan sosial yang terjadi. Dari hasil penelitian, sawit tidak hanya mengubah hutan tetapi mengubah kehidupan masyarakat lokal. Kebanyakan mereka jadi buruh, atau mitra sebagai kebun plasma. Terjadi perubahan, pemilik lahan menjadi buruh atau mitra plasma. Sedangkan plasma itu sendiri banyak masalahnya. (Rakyatsulsel)

  • Bagikan