MAMUJU, RAKYATSULBAR.COM – Teknologi kecerdasan buatan (AI) kini semakin dekat dengan dunia pendidikan, termasuk pendidikan kedokteran. Namun, kemudahan akses informasi ini memunculkan kekhawatiran baru: apakah kualitas dokter muda yang lulus setelah era ChatGPT tetap terjaga?
Isu tersebut kembali mencuat setelah dokter spesialis THT, dr. Muslim Kasim, membagikan pendapatnya melalui unggahan di platform Threads. Dalam tulisannya, ia menyoroti pentingnya menjaga pola hidup sehat sekaligus menyinggung cara belajar mahasiswa kedokteran generasi baru.
“Kita sekarang harus lebih serius melakukan olahraga teratur, makan bergizi, tidur cukup, jauhi rokok dan alkohol. Jaga kesehatan baik-baik… Ingat, dokter-dokter lulusan tahun 2022 ke atas itu kelulusannya banyak dibantu oleh ChatGPT, lho,” tulis dr. Muslim.
Pernyataan tersebut menimbulkan beragam reaksi, baik dari masyarakat umum maupun kalangan tenaga kesehatan. Sebagian menilai penggunaan AI seperti ChatGPT dapat membantu mahasiswa memahami materi dengan lebih cepat. Namun, sebagian lain menilai hal itu bisa membuat proses belajar menjadi terlalu bergantung pada mesin.
Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), dr. Budi Sampurna, PhD, dalam beberapa kesempatan sebelumnya memang pernah mengingatkan bahwa perkembangan teknologi perlu diimbangi dengan penguatan etika dan kompetensi praktik klinis.
Menurutnya, teknologi bisa menjadi alat bantu belajar yang bermanfaat, asalkan tidak menggantikan proses berpikir kritis dan analisis manusia.
Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menegaskan pentingnya memastikan bahwa setiap lulusan kedokteran tetap melalui proses akademik dan uji kompetensi yang ketat. Dalam berbagai pernyataannya, IDI menekankan bahwa penggunaan AI tidak bisa dijadikan alasan untuk menurunkan standar kelulusan.
“AI memang memberi kemudahan, tapi tanggung jawab dokter terhadap keselamatan pasien tetap tidak bisa digantikan oleh teknologi,” demikian penjelasan IDI dalam sejumlah forum diskusi tentang etika profesi dan digitalisasi kedokteran.
Di sisi lain, sejumlah pengamat teknologi menilai kehadiran ChatGPT justru membuka peluang bagi inovasi medis. Dengan akses informasi yang luas, mahasiswa dapat memperdalam topik medis terkini dan riset global dengan lebih cepat asalkan digunakan dengan bijak.
Namun, perdebatan ini menunjukkan satu hal penting: kemajuan teknologi harus berjalan beriringan dengan integritas dan kemampuan klinis seorang dokter.
Bagaimanapun, di ruang praktik, keputusan akhir tetap bergantung pada manusia bukan pada mesin. (*)



