Oleh: Ahmad Razak
Dosen Fakultas Psikologi UNM
MAKASSAR, RAKYATSULBAR.COM – Perjalanan kami bermula dari kunjungan kerja Senat Universitas Negeri Makassar (UNM) ke Universitas Mulawarman di Samarinda. Pertemuan itu berlangsung hangat dan produktif, memperkuat kerja sama akademik antara dua perguruan tinggi besar di kawasan timur Indonesia.
Dari ruang diskusi ilmiah yang penuh gagasan itu, kami melanjutkan langkah menuju Ibu Kota Nusantara (IKN), sebuah wilayah yang kini menjadi simbol impian besar bangsa dalam membangun pusat pemerintahan baru yang modern, hijau, dan berkelanjutan.
Perjalanan menuju IKN kami tempuh sekitar tiga jam. Jalanan tol membentang mulus di antara gunung-gunung nan hijau dan lembah yang memukau. Udara Kalimantan yang segar membawa rasa kagum akan keindahan negeri ini. Di dalam mobil, kami bernyanyi bersama, bercanda dan tertawa guna mengusir lelah perjalanan panjang.
Sesekali kami beristirahat di kedai sederhana di pinggir jalan menikmati kopi hitam kalimantan, berbagi tawa, dan sebagai seorang muslim kami tak lupa menunaikan ibadah sholat jama’ qashar (Magrib dan Isya). Setelah tenaga kembali pulih, perjalanan dilanjutkan hingga akhirnya tampak di kejauhan deretan gedung dan menara yang menandai wilayah IKN.
Sesampainya di sana, pemandangan yang tersaji sungguh memukau sekaligus mengundang renungan. Di tengah hamparan luas yang masih dipenuhi rumput ilalang, berdiri megah gedung-gedung pemerintahan dengan desain futuristik. Jalan-jalan lebar, jembatan kokoh, dan infrastruktur baru memperlihatkan kemajuan luar biasa.
Namun di balik kemegahan itu, masih terasa sepi. Gedung-gedung itu belum berpenghuni, ruang-ruang itu belum terisi oleh denyut aktivitas manusia. IKN tampak seperti kota yang sedang menunggu jiwanya sendiri.
Pertanyaan pun muncul dalam benak: apakah IKN benar-benar akan menjadi pusat aktivitas pemerintahan Republik Indonesia di masa depan? Ataukah hanya akan menjadi deretan bangunan megah yang berdiri tanpa kehidupan, menjadi “gedung tak bertuan” yang lebih sering dijadikan tontonan wisata daripada tempat pengabdian negara? Kekhawatiran ini wajar muncul, terlebih di tengah suara-suara kritis dari berbagai kalangan yang menilai proyek ini terlalu ambisius dan berpotensi mengabaikan prioritas lain bangsa. Bila tak dikelola dengan hati-hati, jangan sampai IKN kelak menjadi monumen senyap puing-puing modern yang ditenggelamkan oleh gelombang kritik dan ketidakpercayaan publik.
Namun di sisi lain, tidak bisa disangkal bahwa IKN juga adalah wujud keberanian Indonesia untuk bermimpi besar. Ia mencerminkan keyakinan bahwa kemajuan bangsa harus dirancang dari sekarang, dengan tata ruang yang lebih adil dan berwawasan lingkungan.
Jalan yang mulus, bangunan yang megah, dan sistem perencanaan yang modern adalah langkah awal dari proses panjang menuju pemerintahan yang efektif dan pembangunan yang merata.
Hanya saja, pembangunan fisik tanpa jiwa akan berakhir hampa. Yang dibutuhkan bukan sekadar memindahkan kantor kementerian, tetapi menanamkan nilai baru dalam sistem birokrasi: integritas, pelayanan, dan kesadaran ekologis.
IKN tidak boleh hanya menjadi simbol politik, tetapi laboratorium moral bagi Indonesia masa depan tempat di mana kemajuan teknologi berdampingan dengan keluhuran budaya dan spiritualitas bangsa.
Kami kembali dari IKN dengan perasaan campur aduk: bangga melihat kemajuan nyata, namun juga terusik oleh renungan yang dalam. Jalan tol yang megah dan bangunan futuristik menunjukkan tekad bangsa untuk maju, tetapi ilalang yang masih tumbuh di sekitarnya seolah berbisik: “jangan lupakan akar kehidupan”. Pembangunan sejati tidak cukup dengan beton dan baja, tetapi harus disertai visi kemanusiaan dan keseimbangan dengan alam.
Akhirnya, IKN adalah cermin masa depan kita. Apakah ia akan menjadi mercusuar peradaban baru Indonesia, atau sekadar kota megah tanpa jiwa—semuanya bergantung pada kesungguhan kita mengisinya dengan nilai, kehidupan, dan pelayanan. Di antara ilalang dan gedung-gedung megah itu, tersimpan doa dan harapan: semoga IKN bukan menjadi puing dari ambisi, melainkan taman bagi peradaban bangsa yang berakar pada kearifan dan berbuah kemajuan.
Sebelum kami kembali ke Makassar, kami sempat mampir di Pasar Sayur, sebuah pasar tradisional yang cukup terkenal di daerah ini. Sekilas dari namanya, pasar ini seolah tempat menjual sayur-sayuran. Namun ternyata, di sanalah tersaji beragam oleh-oleh khas Kalimantan seperti batu cincin dengan corak eksotis, kayu bajaka yang diyakini memiliki khasiat kesehatan, minyak urut tradisional, serta aneka kerajinan tangan masyarakat setempat. Hiruk pikuk pasar, aroma rempah dan tawa para pedagang menjadi penutup perjalanan kami yang penuh makna, menghadirkan nuansa lokal yang hangat di tengah kesan megah dan futuristik IKN. (*)








