Dari Guru Agama jadi Menteri Agama

  • Bagikan

Oleh Muhammad Aras Prabowo – Intelektual Muda Nahdlatul Ulama

Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A. adalah contoh nyata bagaimana seorang guru agama dapat menapaki jalan panjang hingga dipercaya menjadi Menteri Agama Republik Indonesia. Lahir di Ujung, Bone, Sulawesi Selatan pada 23 Juni 1959, ia dibesarkan dalam keluarga pendidik. Sang ayah, Andi Umar, adalah seorang guru yang disegani di Bone. Ia dikenal tidak hanya sebagai pendidik formal, tetapi juga sebagai pendiri Pondok Pesantren Al Ikhlas Ujung Bone, sebuah lembaga pendidikan Islam yang menekankan disiplin, kemandirian, dan penguasaan ilmu agama. Dari ayahandanya, Nasaruddin mewarisi semangat keilmuan sekaligus dedikasi untuk membangun manusia melalui pendidikan.

Andi Umar adalah sosok guru tradisional yang memahami betul bagaimana pendidikan menjadi jalan mobilitas sosial dan dakwah Islam. Sebagai perintis Pondok Pesantren Al Ikhlas Ujung Bone, ia membangun pesantren dengan visi sederhana: mencetak generasi berakhlak mulia yang mampu mengabdi kepada masyarakat. Dari pondok inilah lahir banyak alumni yang kemudian berperan di berbagai lini kehidupan, baik di Sulawesi Selatan maupun di kancah nasional. Figur ayah yang sederhana, disiplin, dan visioner ini menjadi fondasi karakter Nasaruddin kecil. Tidak berlebihan bila dikatakan, jejak kepemimpinan seorang menteri sudah ditanamkan sejak ia menghirup udara pendidikan dari ayahnya sendiri.

Pendidikan Nasaruddin berawal dari sekolah dasar negeri di kampung halamannya. Setelah itu, ia menempuh jalur pendidikan pesantren di As’adiyah Sengkang, Wajo, sebuah pesantren yang melahirkan banyak ulama berpengaruh di Sulawesi Selatan. Di sinilah ia menginternalisasi tradisi kitab kuning, kesederhanaan hidup santri, serta kepekaan sosial. Pendidikan ini dilanjutkan dengan jenjang formal di IAIN Alauddin Makassar hingga meraih gelar sarjana. Kemudian, ia melanjutkan ke jenjang magister dan doktor di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses studinya, Nasaruddin sempat menimba pengalaman akademik di universitas terkemuka dunia: McGill di Kanada, Leiden di Belanda, hingga Sorbonne di Paris. Pengalaman lintas tradisi akademik ini memperkaya perspektifnya, sehingga ia tidak hanya berpikir dalam horizon lokal, tetapi juga global.

Kariernya pun tak kalah menarik. Sebelum memasuki struktur birokrasi negara, ia pernah menjadi kepala sekolah Pondok Pesantren Madinah di Makassar. Dari titik ini, ia menunjukkan bagaimana seorang santri yang berangkat dari tradisi lokal mampu mengelola institusi pendidikan dengan visi kebangsaan. Selanjutnya, ia dipercaya memimpin organisasi besar seperti Pondok Pesantren As’adiyah sebuah pesantren dengan sejarah panjang dalam pendidikan Islam. Menjadi Ketua Umum Ponpes As’adiyah pada 2022 adalah bukti pengakuan kolektif atas kapasitas keilmuan dan kepemimpinannya.

Dalam ranah birokrasi, rekam jejaknya semakin menonjol. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama, lalu diangkat menjadi Wakil Menteri Agama (2011–2014). Kemudian, pada 2016, ia dilantik sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, masjid terbesar di Asia Tenggara yang menjadi simbol persatuan umat Islam Indonesia. Semua capaian ini menjadi tangga menuju posisi tertinggi: Menteri Agama RI ke-25, dilantik pada 21 Oktober 2024.

Di sinilah letak progresivitas perjalanan Nasaruddin Umar. Dari guru agama, ia menapaki tangga birokrasi dengan tetap menjaga integritas akademik dan keulamaannya. Dalam konteks Nahdlatul Ulama, jejak ini menegaskan bahwa tradisi pesantren bukanlah ruang marginal. Justru dari pesantren lahirlah kader-kader bangsa yang mampu masuk ke jantung kekuasaan tanpa kehilangan akar tradisinya.

Namun, perjalanan ini tidak lepas dari tantangan. Sebagai Menteri Agama, Nasaruddin harus berhadapan dengan berbagai persoalan besar: intoleransi, radikalisme, isu korupsi di lembaga keagamaan, serta ketidakmerataan akses pendidikan agama. Tantangan lain adalah bagaimana Kementerian Agama dapat menyeimbangkan aspirasi kelompok mayoritas dan minoritas, sekaligus memastikan bahwa agama menjadi sumber kedamaian, bukan sumber konflik.

Dalam perspektif kritis, kita dapat membaca kiprah Nasaruddin Umar sebagai cermin dialektika antara tradisi dan modernitas. Dari satu sisi, ia berakar kuat pada pesantren, dengan segala kearifan lokal dan spiritualitasnya. Dari sisi lain, ia berinteraksi dengan dunia akademik internasional, yang menuntut keterbukaan, rasionalitas, dan universalitas. Dialektika inilah yang menjadikan Nasaruddin sosok ulama-birokrat yang unik: bisa berbicara dengan bahasa santri, sekaligus fasih dalam bahasa akademik global.

Sebagai intelektual muda NU, saya melihat bahwa transformasi dari guru agama menjadi Menteri Agama bukan hanya kisah personal, tetapi juga representasi transformasi sosial. Figur seperti Nasaruddin Umar membuktikan bahwa jalur pendidikan agama dapat melahirkan pemimpin bangsa. Pesantren bukan sekadar “pabrik ustaz”, melainkan juga ladang persemaian intelektual, organisator, dan negarawan. Dalam hal ini, peran Andi Umar sebagai guru dan pendiri pesantren Al Ikhlas Ujung Bone harus diakui sebagai akar kuat yang menumbuhkan tradisi keilmuan dalam keluarga besar Nasaruddin.

Oleh karena itu, ke depan, tantangan terbesar bagi Nasaruddin Umar sebagai Menteri Agama adalah bagaimana menjadikan Kementerian Agama lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Ia perlu mendorong reformasi pendidikan Islam, memperkuat tata kelola zakat, serta mengembangkan dialog antaragama yang lebih substantif. Selain itu, penguatan pesantren sebagai pusat pemberdayaan ekonomi umat harus menjadi prioritas.

Akhirnya, perjalanan Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar dari guru agama hingga Menteri Agama adalah kisah inspiratif sekaligus tantangan. Inspiratif, karena ia menunjukkan bahwa kesungguhan belajar, integritas, dan keterbukaan dapat mengantarkan seseorang ke puncak kepemimpinan. Tantangan, karena dari posisi inilah ia diuji: apakah mampu membawa agama sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. Dan pada titik inilah kita melihat peran seorang ayah, seorang guru kampung bernama Andi Umar, yang mewariskan semangat pendidik hingga buahnya kini menjadi milik bangsa.

  • Bagikan