Permasalahan ini bukan hanya soal teknis perizinan, tapi menyangkut kedaulatan daerah dan hak masyarakat lokal. Ketika ruang hidup warga terancam, ketika tanah ulayat masyarakat adat digerus alat berat, maka hukum seharusnya tidak bersikap netral. Ia harus berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar prosedur administratif yang dingin dan jauh dari empati.
Sudah saatnya negara mengevaluasi arsitektur kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam. Desentralisasi tidak boleh menjadi jargon kosong jika pada kenyataannya semua kendali berada di pusat. Gubernur sebagai kepala daerah harus diberi ruang hukum yang nyata untuk melindungi warganya dari ancaman eksploitasi tambang yang tidak adil dan tidak transparan.
Jika tidak, maka yang akan terus terjadi adalah konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan hukum, di mana rakyat berteriak namun hukum tak mendengar, dan gubernur menjadi simbol tanpa kuasa.








